Dengan menyebut Nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang
1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam
kemuliaan[1593].
2. dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu?
3. malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
4. pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril
dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
5. malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar.
Dalam mushaf, surat ini terletak pada urutan ke-97. Terdapat
perbedaan pendapat mengenai status surat yang terdiri dari 5 ayat ini. Ada yang
menyebutnya sebagai surat Makkiyyah, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Marduyah, Ibnu
al-Zubair dan ‘Aisyah.1 Ada juga menggolongkannya sebagai Madaniyyah. Di
antaranya adalah al-Waqidi. Bahkan menurut ats-Tsa’labi, sebagian besar
mufassir memasukkannya sebagai surat Madaniyyah.
Tafsir Ayat
Allah SWT. berfirman: Innâ
anzalnâhu fî laylah al-qadr (Sesungguhnya
Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan). Dalam ayat ini digunakan
frasa Innâ (Sesungguhnya Kami), bukan Innî (Sesungguhnya Aku). Dijelaskan
Fakhruddin ar-Razi, kata tersebut tidak boleh dimaknai li al-jam’i (untuk menunjukkan makna jamak).
Sebab, hal itu mustahil ditujukan kepada Allah, Zat Yang Maha Esa. Karena itu,
kata tersebut harus dimaknai sebagai li
at-ta’zhîm (untuk
mengagungkan).3
Huruf al-hâ’ (dhamîr al-ghâib, kata ganti pihak ketiga) dalam
ayat ini, tidak memiliki al-ism
azh-zháhir yang menjadi
rujukannya. Meskipun demikian, para mufassir sepakat bahwa dhamîr tersebut menunjuk pada al-Quran.4
Menurut al-Qurthubi, tidak disebutkan kata al-Quran karena maknanya sudah
maklum.5Fakhruddin ar-Razi dan az-Zamakhsyari menjelaskan, ketiadaan al-ism azh-zhâhir itu menjadi salah satu aspek yang
menunjukkan keagungan al-Quran.6 Adapun al-Khaththabi dan Abu Hayyan
al-Andalusi mengaitkannya dengan surat sebelumnya: iqra’ bi[i]smi Rabbika; sehingga
seolah dikatakan: Bacalah apa
yang Kami turunkan kepadamu berupa firman Kami, “Innâ anzalnâhu laylah
al-qadr.”7
Dalam ayat ini diberitakan bahwa al-Quran diturunkan pada malam al-qadr. Secara fakta, al-Quran
turun kepada Rasulullah saw. secara bertahap selama dua puluh tiga tahun; siang
dan malam, dalam berbagai bulan dan keadaan. Jika demikian, apa makna al-Quran
diturunkan pada suatu malam yang disebut sebagai malam al-qadr itu?
Setidaknya ada dua penjelasan. Pertama:
turunnya al-Quran yang diberitakan dalam ayat ini adalah turunnya al-Quran
secara sekaligus dari al-Lawh
al-Mahfûzh ke Bayt al-‘Izzah di langit dunia. Selanjutnya, al-Quran
turun kepada Rasulullah saw. selama 23 tahun secara bertahap setiap saat.
Penjelasan ini disampaikan Ibnu ‘Abbas; juga dipilih oleh beberapa mufassir
seperti al-Alusi, al-Baghawi, asy-Syaukani, as-Samarqandi, dan yang lainnya.8
Kedua: turunnya al-Quran pertama kali. Ini merupakan pendapat
asy-Sya’bi dan yang lainnya.9 Intinya, awal diturunkannya al-Quran dan
diutusnya Rasulullah. saw terjadi pada malam al-qadr itu. Peristiwa ini terjadi pada
bulan Ramadhan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).
Mengapa malam itu disebut sebagai malam al-qadr? Menurut Ibnu ‘Abbas, Qatadah
dan lain-lain, dinamakan al-qadr karena di dalamnya terjadi
penentuan ajal, rezeki dan berbagai kejadian di dunia yang diberikan kepada
malaikat untuk dikerjakan. Pendapat ini juga dipilih az-Zamakhsyari,
asy-Syaukani dan al-Baghawi karena dinilai sejalan dengan QS ad-Dukhan [44]:
4.10 Adapun az-Zuhri memaknai laylah
al-qadr sebagai malam al-‘azhamah wa asy-syaraf (keagungan dan kemuliaan).11
Pengertian ini juga sejalan dengan ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa malam
tersebut lebih baik dari seribu bulan. Ada juga yang memilih kedua pendapat itu
tanpa menafikan salah satunya, seperti al-Baidhawi, as-Samarqandi, as-Sa’di dan
al-Zuhaili.12 Jika diikuti penjelasan ayat-ayat sesudahnya, kedua pendapat itu
sama-sama memiliki pijakan yang kuat. Tidak harus dipilih salah satunya dan
menegasikan makna lainnya.
Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ
adrâka mâ laylah al-qadr (Tahukah
kamu apakah malam kemuliaan itu?). Kalimat istifhâm ini memberikan makna tafkhîm sya’nihâ (memuliakan urusannya);
seolah-olah perkara tersebut keluar dari pengetahuan makhluk; dan tidak ada
yang mengetahuinya kecuali Allah SWT. Demikian penjelasan asy-Syaukani.13Tidak
jauh berbeda, as-Samarqandi juga menafsirkannya sebagai ta’zhîm[an] lahâ (mengagungkan, memuliakannya).14
Pertanyaan itu lalu dijelaskan dalam ayat berikutnya: Laylah al-qadr khayr min
alfi syahr[in] (Malam
kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan). Menurut Abu Hayyan, seribu bulan
yang dimaksud adalah jumlah sebenarnya, yakni 83 tahun. Al-Hasan mengatakan, “Beramal pada malam al-qadr itu
lebih utama daripada beramal pada bulan-bulan itu.”15 Menurut Anas, amal,
sedekah, shalat dan zakat pada Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu
bulan.16 Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid, Amru bin Qays
al-Malai, Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan as-Samarqandi.17 Bahkan menurut
as-Syaukani, kesimpulan tersebut (beramal di malam itu lebih baik daripada
seribu bulan, selain yang di dalamnya terdapat malam al-qadr) merupakan pendapat
sebagian besar mufassirin.18 Mengenai keutamaan beramal pada malam
tersebut juga ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melaksanakan shalat pada Lailatul Qadar karena iman
dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan
diampuni (HR al-Bukhir, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan
Ahmad).
Kemudian Allah SWT menjelaskan keutamaan lain Malam al-Qadr dengan firman-Nya: Tanazzalu al-malâikah wa al-Rûh
fîhâ bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (Pada
malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan). Pada malam itu, para malaikat turun dari langit ke
bumi, termasuk ar-Rûh. Menurut jumhûr al-mufassirîn, yang dimaksud ar-Rûh di sini adalah Jibril.19
Penyebutan Jibril sesudah malaikat merupakan athf
al-khâsh ‘alâ al-‘âmm (menambahkan
yang khusus atas yang umum).20 Biasanya, itu berguna untuk menunjukkan
kemuliaan dan keagungannya atas yang lain (Lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]:
98).
Menurut Ibnu Katsir, banyaknya malaikat yang turun karena
banyaknya berkah. Malaikat turun dengan membawa berkah dan rahmat sebagaimana
mereka turun ketika ada tilawah al-Quran; mereka mencari majelis zikir dan
meletakkan sayapnya mengitari orang-orang yang mencari ilmu untuk
memuliakannya.21
Dipaparkan ar-Razi, penyebutan bi
idzni Rabbihim memberikan
isyarat bahwa para malaikat itu tidak bertindak apa pun selain dengan izin-Nya.
Adapun kata Rabbihim berguna sebagai ta’zhîm[an] li al-malâikah wa
tahqîr[an] li al-‘ashâh (untuk
memuliakan malaikat dan melecehkan pelaku maksiat).22 Menurut Qatadah dan
lainnya, frasa bi idzni
Rabbihim min kulli amr[in] (dengan
izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan), memberikan pengertian bahwa pada
malam itu diputuskan berbagai urusan; ditetapkan ajal dan rezeki. Ini sejalan
dengan QS al-Dukhan (44) ayat 4.23
Allah SWT pun menutup ayat ini dengan firman-Nya: Salâm[un] hiya hattâ mathla’
al-fajr (Malam itu [penuh]
kesejahteraan sampai terbit fajar). Dijelaskan Mujahid, bahwa keselamatan itu
berarti sâlimah (selamat); setan tidak mampu
berbuat kejahatan atau melakukan perbuatan yang mencelakakan.24 Qatadah menyatakan
bahwa frasa tersebut berarti kebaikan semua, tidak ada di dalamnya keburukan
hingga terbit fajar.25 Menurut asy-Sya’bi, saat memberikan keselamatan kepada
penghuni masjid mulai dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar,
malaikat melewati setiap Mukmin dan berkata, “As-Salâmu ‘alayka ayyuhâ
al-Mu’min” (Semoga
keselamatan atas kalian, wahai Mukmin).26
Keagungan al-Quran dan Lailatul Qadar
Surat ini memberitakan peristiwa turunnya al-Quran, kitab yang
diturunkan kepada nabi terakhir; berisi penjelasan segala sesuatu, petunjuk
serta rahmat, dan kabar gembira bagi Muslim (lihat QS al-Nahl [16]: 89). Dalam
surat ini, pengagungan al-Quran tampak pada beberapa hal. Pertama: keagungan dan
kemasyhuran al-Quran. Kendati
tidak disebutkan secara zhâhir, tidak ada perbedaan bahwa dhamîr al-ghâib ini merujuk pada al-Quran.
Sebagaimana telah dipaparkan, itu menunjukkan keagungan dan kemasyhuran
al-Quran. Karena itu, meski tanpa disebutkan secara zhâhir, maknanya sudah sangat
jelas.
Kedua: keagungan Zat yang menurunkannya. Disebutkan dalam surat ini
bahwa yang menurunkan al-Quran adalah Allah SWT. Sebagai kitab yang berasal
dari Zat Yang Mahabenar dan Mahaadil, kitab yang diturunkan-Nya pun demikian, shidqa[an] wa ad-la[a] (benar dan adil, lihat QS al-An’am
[6]: 115). Digunakannya frasa innâ yang menunjuk kepada Allah kian
menambah kemuliaan al-Quran. Sebab, frasa innâ memberikan makna li al-ta’zhîm (untuk memuliakan, mengagungkan)
terhadap Zat yang menurunkan-Nya.
Keistimewaan waktu turunnya
Diberitakan dalam ayat ini bahwa turunnya al-Quran dipilih pada
waktu yang amat mulia, yakni pada laylah
al-qadr, sebuah malam yang penuh berkah (lihat QS al-Dukhan [44]: 3), yang
lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu, para malaikat, termasuk Jibril,
turun ke bumi. Ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam tersebut.
Sebab, para malaikat itu tidak turun kecuali ada perkara yang besar. Rasulullah
saw bersabda tentang laylah
al-qadr:
إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِى الأَرْضِ أَكْثَرُ مِن عَدَدِ الْحَصَى
Sesungguhnya laylah al-qadr itu adalah malam kedua puluh
tujuh atau kedua puluh sembilan. Sesungguhnya para malaikat pada malam itu di
bumi lebih banyak daripada jumlah kerikil (HR
Ahmad dari Abu Hurairah).
Ditegaskan pula, pada malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit
fajar. Berita tersebut seharusnya membuat manusia kian memuliakan dan
mengagungkan kitab Allah SWT itu; juga benar-benar berupaya mencari dan mengisi
Lailatul Qadar dengan amal shalih. Rasulullah
saw. bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan (HR al-Bukhari).
Pada hari-hari itu, Rasulullah saw. juga senantiasa
bersungguh-sungguh dalam ibadah, melebihi dua puluh malam pertama. Aisyah ra.
berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
Rasulullah saw. bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh
malam terakhir di bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada malam yang
lainnya (HR Muslim, at-Tirmidzi dan
Ahmad).
Pada malam itu, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk memperbanyak
membaca al-Quran dan membaca doa. Sebab, doa pada waktu-waktu tersebut
mustajab. Doa yang terus dibaca adalah doa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra.
yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya mendapatkan Lailatul
Qadar, apa yang aku katakan?” Beliau bersabda:
تَقُولِينَ : اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ ، فَاعْفُ عَنِّي
Kamu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya
Engkau Maha Pengampum, mencintai ampunan. Karena itu, ampunilah aku.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Mengingat besarnya keutamaan Lailatul Qadar, sudah sepatutnya kaum Muslim
berusaha keras untuk mengisi malam-malam akhir pada bulan Ramadhan dengan
berbagai ibadah dan amal shalih, termasuk berdakwah dan berjuang demi tegaknya
hukum dalam Kitab dan as-Sunnah. Harus diingat, kesempatan itu tidak selalu
ada. Jika kini kita masih berjumpa dengan Ramadhan, belum tentu tahun depan.
Betapa beruntung kita jika mendapatkan sebuah malam yang lebih mulia dari
seribu bulan atau delapan puluh tiga tahun lebih. Karunia apa lagi yang lebih
besar dari itu?
Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan kaki:
1 As-Suyuthi, Ad-Durr
al-Mantsûr, XV/533 (Kairo:
Maktabah Hijr, 2003). Namun, menurut Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504 (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2001), Ibnu ‘Abbas memasukkannya ke dalam Madaniyyah.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129
(Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964); Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492 (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993); asy-Syaukani, Fath
al-Qadîr, V/633 (tt: Dar
al-Wafa’, tt).
3 Ar-Razi, Mafâtîh
al-Ghayb, XXXII/27 (Beirut:
Dar al-Fikr, 1981).
4 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129.
5 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407 (Riyad: Maktabah Abikan,
1998).
6 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr
al-Muhîth, VIII/492;
al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/411 (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1995).
7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129;
Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr
al-Muhîth, VIII/492;
az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407
8 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.
9 Al-Alusi, Rûh
al-Ma’ânî, XV/415; Abu Hayyan
al-Andalusi, Al-Bahr
al-Muhîth, VIII/492.
10 Asy-Syaukani, Fath
al-Qadîr, V/633.
11 As-Samarqandi, Bahr
al-‘Ulûm, III/496.
12 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr
al-Muhîth, VIII/493.
13 As-Suyuthi, Ad-Durr
al-Mantsûr, XV/534.
14 Ath-Thabari, Jâmi’
al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, XXXIV/534
(Madinah: Muassasah al-Risalah, 200); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.
15 Asy-Syaukani, Fath
al-Qadîr, V/633.
16 Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/443.
17 Ibnu Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.
More: